Wednesday 24 February 2016

Cukup Allah Yang Tahu ( Habib Ali Zainal Abidin Al-Athas)

Tags


Aku berasal dari keluarga yang kebanyakan orang memandangnya sebagai keluarga yang berkecukupan secara ekonomi. Kelihatan yang memang demikian. Tapi bila mereka mau memperhatikan lebih jauh, sejatinya keluargaku adalah keluarga pas-pasan, kalau tidak disebut keluarga yang serba kurang.
Namun meski memang demikian keadaan keluargaku, orang tuaku sangat rapi menyimpan keadaan itu dari masyarakat disekitarnya. Dihadapan maunia, beliau tidak mau menunjukan kepahitan hidup yang selama ini kami rasakan. Baginya cukup Allah yang tahu yang menjadi tempat curahan hati.
Kuakui, kala itu sikap dan sikap seperti ini tidak jarang aku dan adik-adikku mengelus dada. Bagaimana tidak. Dulu kami memiliki seorang tetangga yang kaya raya dan sangat dermawan. Sering kali ia memberikan sedekah-sedekahnya kepada para tetangga yang tidak mampu. Yang pasti setiap datang bulan Ramadhan ia selalu menebar sedekah.

Yang mengagumkanku, ia tidak pernah menyuruh orang membagikan sedekahnya. Dengan penuh keikhlasan ia sendiri yang membagikan sedekah itu dari pintu ke pintu, dari rumah ke rumah para tetangga yang layak dan berhak menerimanya. Tapi setiap kali ia membagikan sedekahnya, rumah orang tua rumahku selalu saja dilewati. Sekali pun tidak pernah memberikan sedekahnya ke rumah kami.
Sepertinya ia benar benar mengira keluarga kami berkecukupan. Ia tidak pernah tahu bahwa keluarga kami bekerja keras agar setiap hari bisa membagikan nasi dimeja makan bagi anak-anaknya, meski dalam setiap hari tidak selalu genap tiga kali.

Kalupun sudah begitu aku dan adik-adiku hanya mengelus dada, sambil berharap dari sedekahnya ada dirumah kami. Namanya juga anak-anak. Baru setelah dewasa aku menyadari bahwa kami, keturunan Rasullullah, memang dilarang menerima zakat atau sedekah.
Orang tua kami selalu mengajari kami agar selalu mensyukuri apa yang ada, tawakal kepada allah, bersabar dan selalu jujur. Sikap seperti ini selalu ditanamkan dalam hati kami dan kami pegang kuat hingga kini.
Aku selalu beruntung. Tahun 1977, setelah SMA, aku diterima bekerja disebuah perusahaan besar milik Jerman di Arab Saudi. Meski sebagai karyawan biasa, aku sangat bersyukur. Berapapun penghasilannya, aku dapat membantu ekonomi keluargaku di Tegal. Sekian tahun lamanya disana, dapat dikatakan aku tidak pernah menikmati hasil bayaran dari aku bekerja.
Setiap kali bayaran yang aku terima, langsung aku kirim kepada keluargaku yang ada di Indonesia untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan uang itu orang tuaku dapat membangun rumah yang lebih baiklayak dari pda sebelumnya.

Dan dengan hasil bayaranku itu pula kedua adikku dapat menyelesaikan sekolahnya hingga bangku Kuliah. Aku sendiri hidup dengan fasilitas yang diberikan kedapa karyawan, termasuk sehari-hari. Hingga suatu ketika aku ditawari menikah dengan gadis pilihan mereka. Zahra namanya, aku tidak mengenal sebelumnya. namun atas penawaran itu aku hanya menjawab, "Bila bapak dan ibu memang rido dengan gadis itu, dengan penuh ikhlas aku rela menerimanya"

-Berkomentarlah seputar konten yang di atas.
-jangan menyimpan link aktif.
-saya sangat menghargai kritik dan saran dari kalian, jadi berbahasalah dengan sopan.
EmoticonEmoticon